kapsel PAI




CUPLIKAN PENGALAMAN PRIBADI

  Tulisan berikut merupakan cuplikan dari pengalaman pribadi seorang tokoh pendidikan jawa barat ketika menjadi guru SD di Bandorasawetan dan Citangtu Kabupaten Kuningan antara tahun 1958 - 1962
 Tugas saudara adalah Mengidentivikasi tiap-tiap cuplikan di bawah tentang:
1.     Coba sebutkan nama metode, prinsisp pembelajaran, dan model pembelajaran apa yang pas masing-masing cuplikan tersebut ?
2. Coba analisis semua culikan di bawah point apa saja yang bertentangan dengan prinsip islami? Apa solusi membenahinya ?dan sebutkan alasannya?
1. Memperkenalkan Pekerjaan di Sekitar Lingkungan
Pada waktu saya ikut KGA di Kuningan saya seringkali merasa kesulitan untuk mencari waktu untuk konsentrasi belajar dalam rangka menghadapi  ulangan di KGA. Maklum, pagi sampai siangnya saya harus mengajar, dan siang sampai malamnya saya harus berangkat mengikuti pendidikan di KGA. Nah kebetulan pada zaman saya mengajar di SD Citangtu 2 ada satu hari (Sabtu) yang disebut dengan hari krida. Saya pikir ini kesempatan yang baik untuk saya gunakan belajar.  Lalu secara spontan saya berinisiatif untuk mengelompokkan anak-anak itu  ke dalam empat kelompok. Setiap kelompok di suruh keliling desa, mereka menyebar sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Mereka disuruh melihat dan mencatat apa yang dilakukan oleh penduduk di desa itu. Apa saja jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, dicatat dan dilaporkan. Jadi empat kelompok itu menyebar ke desa. Saya katakan, silahkan anak-anak pergi dan laksanakan tugas ini, dan pada  jam 11 anak-anak harus sudah kembali ke sekolah. 
Ketika anak-anak sedang menyebar keliling desa, maka saya punya waktu untuk belajar dan membaca buku. Jadi memang niat awalnya  adalah hanya mencari waktu agar saya bisa belajar untuk persiapan menghadapi ulangan di KGA. Tetapi makna pendidikannya baru belakangan saya tahu. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, maka tepat jam 11 anak-anak sudah kembali lagi ke sekolah. Tiap-tiap kelompok melaporkan hasil kunjungannya. Kelompok pertama melaporkan hasil kunjungannya ke sawah. Di sawah menurut mereka bertemu dengan banyak orang yang sedang bekerja. Kebetulan mereka sedang menggarap sawah, mereka ada yang membawa cangkul, ada yang sedang membajak, ada yang sedang membabat rumput, dan bermacam-macam pekerjaan di sawah itu dilaporkan oleh mereka. Kelompok kedua menyampaikan laporannya, bahwa mereka berkunjung ke tempat yang sedang hajatan (pesta), mereka melaporkan bahwa di tempat hajatan itu ada orang yang sedang masak, memindahkan kursi, memasang tenda (balandongan), dan ada orang yang kondangan, pokoknya semua kejadian di tempat hajatan tersebut dilaporkan. Lalu kelompok ketiga menyampaikan kunjungannya kepada keluarga yang meninggal dunia, mereka melaporkan bahwa di tempat itu ada orang yang sedang menggotong keranda jenazah, menyiapkan air untuk memandikan jenazah, ada yang menangis, ada yang pergi ke makam untuk menggali kuburan, dll. Kelompok keempat melaporkan tentang adanya masyarakat yang sedang membangun rumah. Mereka melaporkan ada yang sedang mengangkut kayu, ada yang mengangkat genteng, memotong kayu dan bambu, ada yang sedang memaku, dll. Jadi semua kelompok itu melaporkan sesuai dengan hasil kunjungannya masing-masing. Dari situlah saya katakan bahwa inilah pekerjaan-pekerjaan yang ada di kampung kalian. Saya jelaskan secara lugas tentang pekerjaan-pekerjaan itu. Kebetulan Kepala Sekolah yang notabenenya ayah saya menyaksikan kegiatan ini. Dia geleng-geleng kepala seraya mengatakan “hebat kamu ini.” Saya pun tersenyum mendapat pujian itu, karena niat awalnya adalah hanya mencari waktu agar saya bisa belajar untuk persiapan menghadapi ulangan di KGA. 
            Namun demikian, melalui penugasan ini anak-anak akhirnya mengenal sejumlah pekerjaan di lingkungan terdekatnya. Belakangan setelah saya kuliah dijurusan bimbingan & konseling baru tahu bahwa bimbingan karier untuk anak-anak di tingkat SD itu adalah mengenal berbagai jenis pekerjaan di sekitarnya. Itu di antaranya. Kemudian yang saya kagumi adalah bahwa bimbingan karier seperti itu adalah mendidik anak untuk menghargai nilai-nilai pekerjaan. Misalnya nasi yang kita makan itu adalah berasal dari hasil kerja keras para petani yang kerjanya penuh dengan lumpur. Kita lihat gotong royongnya orang-orang ketika membangun rumah. Gotong royong ketika ada orang yang meninggal, gotong royong ketika ada yang sedang hajatan, mereka saling membantu. Jadi anak-anak mengenal jenis-jenis pekerjaan. Lebih dari sekedar mengenal pekerjaan adalah menghargai nilai-nilai pekerjaan itu. Lalu kita tanamkan juga nilai gotong royong kepada anak-anak. Ternyata melalui penugasan kelompok ini anak-anak dapat belajar dengan senang hati. Anak-anak bisa belajar dari lingkungan nyata, dan tidak hanya diceritakan oleh gurunya saja. Alhamdulillah ada nilai positifnya, walaupun sesungguhnya niat awal saya tidak seperti itu. Niatnya adalah mencari waktu agar saya bisa belajar dan membaca buku. Tetapi ternyata nilai positifnya banyak sekali. Anak-anak mendapat pengalaman baru dari hasil peninjauan ke lapangan sedangkan saya bisa belajar. Saya bisa mengajar sambil belajar. Disitulah efektifitas dan efisiensi waktu.      

2. Membuat Kecap
Membuat kecap itu terjadi waktu saya masih mengajar di SD  Bandorasa Wetan. Waktu itu saya ingin memanfaatkan hari krida untuk melakukan kunjungan ke pabrik kecap yang berada di Cilimus. Saya bariskan murid-murid untuk menuju ke Cilimus. Sampai di pabrik kecap, saya bersama anak-anak menyaksikan secara saksama bagaimana kecap dibuat, mulai dari perebusan kacang kedelai sampai proses akhir. Saya sangat serius mengikuti tahapan-tahapan pembuatan kecap tersebut, karena saya sendiri selama ini tidak pernah tahu bagaimana proses pembuatan kecap tersebut. Begitu juga yang terjadi pada anak-anak, mereka pada umumnya mengikutinya dengan serius. Jadi dengan demikian anak-anak bisa belajar secara langsung. Inilah barangkali yang disebut belajar dari lingkungan atau istilah kerennya  KBK.
Semua anak merasa senang bisa melihat proses pembuatan kecap. Tetapi yang lebih senang lagi karena mereka ketika pulang bisa membawa kecap sebagai oleh-oleh untuk orang tuanya  di rumah. Maka ketika keesokan harinya saya bertemu dengan sejumlah orang tua murid, mereka menyatakan terima kasihnya kepada saya: “Waduh guru terima kasih saya bisa merasakan kecap.” Sesudah kunjungan ke pabrik kecap itu saya menjadi penasaran dan terdorong untuk dapat membuat kecap sendiri. Setelah rundingan dengan anak-anak, lalu saya hubungi beberapa orang tua, karena hal itu diperlukan kontribusi dana untuk membeli kacang sebagai bahan pokok pembuatan kecap. Sedangkan peralatannya saya pinjam dari pabrik kecap yang kemarin kita  kunjungi sekaligus pula dengan mendatangkan seorang ahli pembuat kecap. Jadi yang menerangkan cara membuat kecap kepada anak-anak itu bukan saya tetapi langsung pakarnya dari pabrik kecap. Jadi saya berkesimpulan bahwa seorang guru itu jangan hanya mau jadi orang yang sok tahu, tetapi kalau perlu sumber-sumber belajar itu yang dibawa ke sekolah, dan mereka langsung mengajarkannya. Dengan cara demikian anak-anak pun bisa menikmati kecap buatan sendiri. Sementara orang yang punya pabrik kecap juga kelihatannya senang karena dapat mengajari anak-anak. Itulah pengalaman membuat kecap di sekolah.

3. Operasi Beling
Operasi beling adalah merupakan pengalaman yang sangat sulit saya lupakan. Itu terjadi ketika mengajar di SD Citangtu 2. Kita ketahui bahwa waktu itu  sering terjadi bahwa beling (pecahan kaca) itu benda berbahaya tetapi sebanarnya bisa dimanfaatkan. Hampir di semua tempat termasuk di desa ini banyak orang yang mencari dan mengumpulkan beling itu. Nah biasanya orang itu berkeliling kampung, putar-putar untuk mencari beling ke tempat-tempat pembuangan sampah (jarian). Tetapi kadang-kadang mereka juga nakal, sambil mencari beling mereka menjamret jemuran. Untuk mengurangi kejahatan dan menghimpun dana lalu  muncul ide bagaimana kalau anak-anak diinstruksikan untuk membawa dan mencari beling. Teknisnya kepada setiap anak yang menemukan beling baik di jalan atau pun terjadi di rumah berupa gelas pecah dan kaca pecah hendaknya dibawa ke sekolah. Setelah himbauan itu keluar, maka ada saja setiap harinya anak-anak yang membawa beling tersebut. Ternyata hasilnya cukup efektif. Sehingga si tukang beling yang biasanya beroperasi keliling kampung sambil menjamret jemuran, maka mulai ssaat itu mereka tinggal datang ke sekolah saja . Di sekolah langsung terjadi transaksi.
Setelah beling-beling itu dibeli, maka pihak sekolah mempunyai uang kas yang bisa  digunakan untuk membeli alat-alat peraga, dan keperluan sekolah lainnya seperti membeli obat-obatan. Maklum dikampung yang belum tersentuh dengan pelayanan kesehatan yang memadai, sehingga kalau ada anak-anak terluka karena jatuh, maka bisa diobati di sekolah dengan menggunakan obat-obatan yang ada yang dibeli dari usaha mengumpulkan beling. Dengan demikian secara tidak langsung anak-anak pun dilatih untuk memberikan pertolongan kesehatan. Mungkin kalau sekarang istilahnya UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Secara tidak langsung juga dengan adanya obat-obatan tersebut sekolah berfungsi sebagai Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dalam bentuk mini untuk melayani kesehatan. Kalau ada anggota masyarakat yang tiba-tiba diare atau luka-luka mereka cukup datang  ke sekolah, dan anak-anak sudah dilatih untuk memberikan pertolongan pertama. Zaman sekarang mungkin yang disebut “dokter kecil”.
            Banyak manfaat dari upaya operasi beling itu, sehingga kadang-kadang ada satu hari  (Sabtu) yang khusus digunakan oleh anak-anak berkeliling kampung untuk mengumpulkan beling-beling yang ada di tempat-tempat sampah atau yang bercecaran di jalan-jalan. Setelah beling-beling tersebut terkumpul dalam jumlah tertentu, maka pihak sekolah tinggal menjualnya kepada tukang beling. Dan uang dari hasil jualan beling bisa digunakan untuk keperluan pendidikan, di antara nya yang paling banyak adalah digunakan untuk membeli obat-obatan, sehingga di sekolah itu ada sudut kesehatan (kotak obat-obatan). Manfaat lain adalah orang tua dalam hal ini masyarakat merasa bahwa apa yang dilakukan oleh anak-anak itu sangat bermanfaat dalam arti dapat mengurangi benda-benda berbahaya karena kadang-kadang beling tersenut bisa melukai kaki orang. Jadi kegiatan ini adalah sesuatu yang sangat positif, sehingga di desa Citangtu itu bersih dari beling. Sementara bagi si tukang beling, dia tidak usah repot-repot lagi masuk keluar “jarian” untuk mencari beling, dia bisa langsung ke sekolah untuk membeli beling dalam jumlah yang cukup banyak. Maka adanya operasi beling ini masyarakat sangat diuntungkan karena mereka akan terhindar dari pencurian yang biasa dilakukan oleh tukang beling, terhindar dari bahaya karena luka dan sebagainya, dan yang lebih penting lagi adalah menyadarkan anak-anak dan orang tua (masyarakat) untuk mengubah beling yang terbuang menjadi benda yang bermanfaat. Dari benda yang berbahaya menjadi benda yang bermanfaat. Ini sebuah pelajaran bagi anak-anak, bagaimana memanfaatkan benda-benda yang sudah dibuang dan bahkan berbahaya menjadi sesuatu yang bermanfaat. Jadi di situ punya nilai pendidikan, ekonomi, dan juga nilai nilai sosial. Sejak sekolah membuka operasi beling, maka selain anak-anak tak jarang juga orang tuanya sendiri dengan sukarela datang ke sekolah membawa beling. Tiba-tiba ada orang tua datang, “Pak guru ini belingnya”  tadi botol saya di rumah pecah. Jadi gara-gara beling ini bisa juga mempunyai nilai mendekatkan sekolah dengan masyarakat.

4. Membuat Alat Peraga
Kita ketahui bahwa alat peraga dalam dunia pengajaran atau pendidikan posisinya sangat urgen karena dapat membantu dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran tersebut lebih nyata, lebih visual, dan lebih auditif. Pada zaman saya mengajar di SD alat-alat peraga itu memang sangat sulit didapat dan kalaupun dibeli itu harganya sangat mahal dan tidak mungkin terjangkau. Alat peraga itu misalnya berupa peta, baik peta Indonesia maupun peta dunia. Peta tersebut baru ada di atlas yang jumlahnya sangat terbatas. Oleh karena itu untuk memantapkan proses pembelajaran, maka saya memandang perlu untuk membuat peta yang berukuran lebih besar dari yang ada di atlas untuk bisa diperagakan kepada anak-anak.
Selain belum memiliki alat peraga berupa peta, di sekolah ini juga belum memiliki alat-alat peraga lain yang dapat menunjang pelajaran IPA dan berhitung. Tentu di sini kita tidak perlu mengandalkan dropping dari pemerintah, karena memang tidak ada. Melihat betapa pentingnya kehadiran alat-alat peraga tersebut, maka saya bersama guru-guru dan juga murid-murid berusaha membuat alat peraga yang betul-betul diperlukan oleh sekolah. Salah satunya yang saya kenang adalah membuat peta timbul. Dengan peta timbul itu anak-anak bisa belajar peta tetapi sekaligus visualisasinya yang lebih kongrit lagi, karena dalam peta timbul itu visualisasi dari unsur-unsur yang terdapat dalam peta timbul tersebut berbeda-beda. Kalau yang namanya gunung misalnya pasti visualisasinya muncul lebih tinggi dibanding dengan visualisasi sungai, danau, jalan dan lain sebagainya.
 Dalam kapasitasnya sebagai penggagas pembuatan peta timbul, saya instruksikan kepada anak-anak untuk mengumpulkan kertas-kertas yang tidak terpakai. Jadi kalau mereka menemukan kertas di rumah, di jalan dan dimana saja yang berceceran hendaknya di bawa ke sekolah. Zaman dulu itu yang namanya kertas atau koran adalah termasuk barang langka, tidak seperti sekarang  mudah diperoleh. Proses selanjutnya, setelah  kertas itu sudah terkumpul kemudian disobek-sobek menjadi kecil-kecil, kemudian direndam dalam ember. Biasanya setelah direndam tiga atau empat hari kertas tersebut hancur seperti bubur, dan kemudian setelah itu ditumbuk sampai halus. Saya menumbuknya bersama anak-anak. Jadi dengan demikian  anak-anak pun ikut terlibat dalam proses pembuatan peta timbul tersebut. Jadi kalau zaman sekarang barangkali disebut dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
Lalu  bagaimana dengan bahan-bahan lainnya, seperti papan misalnya. Kita ketahui bahwa untuk mendapatkan papan di kampung ini tentu tidaklah sulit. Banyak orang tua murid yang memiliki papan, sehingga jangankan membeli, minta saja pasti akan dikasih karena untuk kepentingan sekolah. Papan itu kemudian dihaluskan (disugu) dan dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan, misalnya saja dibutuhkan (2 x 1 m). Di atas papan itu kemudian dibuat gambar peta, misalnya peta Jawa Barat, Pulau Sumatera, peta Indonesia, dll. Yang saya ingat hampir semua Pulau waktu itu dibuatkan peta timbulnya.  Semua peta-peta itu saya kerjakan bersama anak-anak. Tentu saja anak-anak sangat senang  karena dilibatkan secara langsung dalam proses pembuatannya. Sambil mengerjakan peta timbul itu, saya jelaskan kepada anak-anak bahwa dalam peta timbul ini kalau dataran rendah itu warna catnya hijau, gambar gunung berwarna coklat dan  laut berwarna  biru. Semua yang terkait dengan peta timbul tersebut saya  jelaskan secara detail sambil menyelesaikan pembuatannya. Jadi dengan cara itu anak-anak sangat  menghayatinya. Melalui alat peraga ini kita bisa bercerita dengan visualitasnya yang sangat jelas. Misalnya ketika menerangkan soal jalan,  kita bisa gambarkan mulai dari Jakarta, jalan ini lewat Bogor, dari Bogor ke selatan bertemulah dengan kota Sukabumi. Kalau kita menerangkan jalan kereta api, di sini ada terowongan anak-anak, dan lain sebagainya. Di situ digambarkan daerah-daerah mana saja yang dilewati oleh jalan kerata api.
Dalam pembuatan peta  itu anak-anak diharapkan aktif, baik secara pisik tetapi juga secara mental, dan intelaktul, yang bahasa sekarang mungkin disebut sebagai CBSA. Jadi artinya pembelajarannya itu dilakukan dengan proses, tidak saja proses secara visual tetapi juga proses metakognisi. Artinya ada proses mental dalam diri masing-masing anak.
Kalau tadi soal papan, lalu sekarang dari mana biaya untuk membeli catnya. Kita memang tidak minta kepada orang tua atau juga  kepemerintah, tetapi kita cukup menggunakan dana kas sekolah hasil penjualan beling, kayu bakar, dan melinjo (tangkil). Melalui pembuatan alat peraga ini semua anak secara aktif terlibat, sehingga betul-betul dapat menghayatinya. Setelah berhasil membuat peta timbul, banyak alat peraga lain yang juga  hasilkan dengan baik. Alat peraga yang paling monumental yang saya selalu seingat adalah alat peraga berupa “globe” yang tidak ditemukan di sekolah lain, kecuali saya pernah temukan di Tasikmalaya. Kita ketahui bahwa  globe itu dibuat dari kerangka bambu, dan ditempeli oleh kertas, dan ditutup sampai bulat. Setelah selesai maka di atas kertas itu baru digambar peta dunianya. Itu tidak dengan bubur kertas, tetapi dengan kertas berlapis-lapis. Selain peta dan globe, kami juga pernah membuat alat peraga lain berupa bejana berhubungan. Kemudian untuk mengawetkan binatang-binatang, saya juga membuat insektarium. Binatang-binatang yang diawetkan seperti capung, kumbang, kalajengking, dll. Pada awalnya bahan pengawetnya adalah  minyak tanah, tapi kemudian menggunakan formalin. Nah itu bisa kita buat, dan yang membuat adalah anak-anak sendiri. Binatang-binatang itu kita awetkan. Lalu kita juga membuat herbarium (jenis daun-daunan). Melalui alat peraga herbarium ini kita dengan mudah bisa menjelaskan tentang dedaunan, misalnya ada daun yang berbentuk seperti pedang (daun alang-alang), ada daun yang berbentuk tangan (daun pepaya). Pokoknya macam-macam daun kita bisa awetkan. Untuk memperoleh daun-daunan itu tidak sulit karena di lingkungan sekitar sekolah banyak daun-daun tersebut. Dengan begitu anak-anak belajar secara aktif karena dia terlibat dalam prosesnya. Dalam pembelajaran ini terkandung pula pendidikan agama. Kepada anak-anak dijelaskan bahwa Allah menciptakan ciptaannya itu dalam beraneka ragam dengan segala keindahannya. Jadi itu semua tidak semata-mata ansih alat peraga saja.
Sekarang bagaimana untuk pelajaran berhitung, kita jelaskan bahwa dalam lingkungan orang-orang Cina itu ada yang disebut sempoa. Sempoa itu mudah sekali dibuat. Bisa dibuat dari biji salak yang dilubangi. Kemudian juga dengan lidi. Ada lidi yang diikat satu dan juga yang diikat spuluh. Jadi kalau kita mengajar anak kelas satu, maka untuk menerangkan angka sebelas itu kita bisa menggunakan alat peraga dari ikatan lidi. Lidi yang jumlah ikatannya sepuluh dan satu lagi lidi yang ikatannya satu. Jadi kalau digabungkan semuanya akan berjumlah sebelas ikatan. Dengan begitu anak-anak bisa cepat mengerti. Kemudian untuk mempermudah pengenalan huruf-huruf seperti A, B, C, D, dan seterusnya, kita bisa membuatnya dari bahan tripleks. Tripleks tersebut digergaji dan dipotong-potong lalu dibentuk seperti huruf. Lalu muncul lagi pertanyaan, dari mana uang untuk membeli tripleks tersebut. Lagi-lagi jawabannya adalah dari uang kas hasil jualan beling dan kayu bakar.
Selain untuk membuat huruf-huruf, tripleks juga bisa digunakan untuk membuat slogan-slogan, misalnya Pancasila, Sumpah Pemuda, dan lambang koperasi. Saya masih ingat bahwa melalui ayah saya di sekolah saya pernah mendapatkan pesanan untuk membuat burung garuda dan lambang koperasi. Dari hasil pesanan itu kita memperoleh uang yang cukup lumayan jumlahnya, sehingga bisa menambah uang kas sekolah. Jadi ada nilai komersilnya. Itulah kenangan indah bersama anak-anak dalam membuat alat-alat peraga. Alhamdulillah alat peraga di sekolah ini cukup lengkap untuk menunjang proses pembelajaran yang dikembangkan bersama anak-anak tanpa memberatkan orang tua atau  merengek-rengek meminta kepada pemerintah.

5.  Memberantas Tahayul
Di Citangtu tempat kelahiran saya begitu banyak orang yang percaya kepada tahayul, mereka sangat percaya adanya mahluk-makhluk halus yang dianggap sering mengganggu manusia. Misalnya di kampung saya itu banyak tempat-tempat yang dianggap angker seperti pada pohon besar di pusat sumber air (hulu cai) dan kuburan. Dua tempat inilah  yang oleh masyarakat sering diyakini ada penghuninya (makhluk halus). Oleh karena itu kalau ada orang yang mau melaksanakan hajatan atau mau membangun rumah pasti mereka “nyuguh” ke pohon besar dengan memberikan “sesaji” berupa sejumlah jenis makanan dan kembang tujuh rupa.
Kepada anak-anak saya ingin meyakinkan bahwa sebetulnya hantu dan setan itu memang ada, tetapi janganlah terlalu berlebihan dalam mempercayainya. Kepada  anak-anak  saya ingin meyakinkan bahwa sebenarnya itu adalah cara orang tua dulu untuk membuat pelestarian lingkungan. Sebab kalau pohon-pohon besar itu diyakini ada penghuninya, maka tidak seorang pun yang berani untuk menebangnya, sehingga pohon besar itu pun tetap berfungsi sebagai sumber air. Sekarang tinggal masalah yang sesuguhnya bagaimana cara menjelaskan bahwa tidak mungkin setan penunggu pohon itu makan nasi, makan telor yang dihidangkan di bawah pohon. Saya mencoba membawa anak-anak kearah berpikir rasional. Kepada anak-anak saya ajarkan konsep bagaimana menjaga kelestarian lingkungan. Kepada mereka saya tekankan jangan mengganggu tempat-tempat yang ada pohon-pohon besarnya karena pohon besar tersebut menjadi sumber mata air. Lalu pohon-pohon yang berada di tebing-tebing tersebut juga menjaga kemungkinan-kemungkinan longsor. Itulah sesungguhnya hakikat dari pentingnya menjaga kelestarian pohon-pohon besar itu, bukan karena ada setan penunggunya, tetapi karena memang manfaatnya yang begitu besar bagi kehidupan dan kelestarian lingkungan sekitar. 
            Hal lain lagi yang menarik, bahwa di kampung saya itu banyak dipercaya adanya orang “nyupang” untuk bisa menjadi kaya dengan cara mengorbankan orang lain menjadi “wadal”. Menurut keyakinan orang di kampung ini katanya banyak orang yang “ngiprit,” nyupang babi dan “ngetek” (jadi monyet). Bentuknya adalah dengan cara menyebar uang recehan di tengah jalan. Kalau uang tersebut diambil, maka nanti akan ada hantu yang datang kepada orang yang mengambil uang  tersebut. Diyakini bahwa yang mengambil uang itu akan menjadi wadal karena sudah mengambil uang di tengah jalan. Mengerikan memang, sehingga kalau ada uang recehan berceceran di jalan tidak seorang pun yang berani untuk mengambilnya, mereka takut “disulurkeun” oleh orang-orang yang “munjung” untuk jadi kaya dengan secara mudah.
Oleh karena itu saya  berusaha untuk meyakinkan anak-anak bahwa itu adalah “tahayul. Saya tegaskan kalau ada uang yang tergeletak di jalan mari kita manfaatkan sebaik-baiknya. Meski sudah disampaikan seperti itu, tetapi anak-anak tetap saja tidak berani. Lalu saya sampaikan lagi kalau anak-anak masih tidak berani untuk mengambilnya, maka kalau ada uang yang berceceran di jalan, anak-anak segera melaporkan kepada saya, dan saya nanti yang akan mengambilnya.  Bersama anak-anak, saya mengambil uang itu. Oke anak-anak, saksikan bahwa saya yang mengambil uang itu. Kemudian uang itu dikumpulkan di sekolah, lalu besoknya saya katakan kepada anak-anak bahwa meski bapak sudah mengambil uang yang tergeletak di jalan, bapak kan masih hidup. Untuk meyakinkan ke arah itu memang butuh waktu. Tetapi alhamdulillah lama-kelamaan anak-anak itu mulai berani, paling tidak anak-anak berani melaporkan bahwa ada uang yang tercecer di jalan. Saya bilang begini saja ketika mengambil uang, kita baca bismillah, kita mohon doa kepada Allah bahwa uang ini adalah sesuatu yang bermanfaat. Minta izin Allah untuk diambil dan dikumpulkan di sekolah untuk menambah uang kas sekolah. Usaha ini tentu membuahkan hasil, karena secara perlahan-lahan anak-anak menjadi yakin bahwa itu tahayul. Karena anak-anak sudah tidak percara lagi maka masyarakat pun mengikutinya. Jadi tidak hanya anak-anak saja, orang dewasa pun  kalau menemukan uang di jalan langsung disetorkan ke sekolah. Apa nilai pendidikan yang bisa dipetik dari kasus ini? Nilai pendidikan di sini adalah nilai kejujuran. Sebab kalau dia tidak jujur, maka kalau dia menemukan uang maka uangnya akan diambil oleh dia sendiri. Sementara nilai pendidikan keagamaannya adalah memberantas tahayul. Artinya kalau mau kaya orang itu harus bekerja keras dengan tidak lupa untuk memohon dan berdoa kepada Allah SWT. Lalu lebih lanjut juga mengajarkan kepada anak-anak sesuatu nilai uang. Uang itu alat transaski, alat ekonomi, sehingga kalau tergeletak begitu saja di tengah jalan maka tidak akan memberikan manfaat apa-apa.
 Sebetulnya banyak tahayul-tahayul lain yang kemudian kita yakinkan kepada anak-anak bahwa itu hanyalah mitos belaka. Misalnya di Palalangon kawasan Cirebon itu banyak monyet. Banyak orang meyakini bahwa monyet-monyet di situ adalah jelmaan manusia-manusia yang dulu ingin kaya. Kepada anak-anak kita yakinkan, seandainya monyet itu dianggap sebagai jemlaan manusia, maka tidak seorang pun  yang berani untuk mengganggunya, sehingga mereka juga membiarkan monyet-monyet tersebut berkembang biak. Kalau ada orang yang datang berkunjung ke sana justru mereka akan memberi makanan dan sebagainya. Dengan perlakuan seperti itu maka akibatnya monyet itu menjadi jinak dan tidak mengganggu tanaman. Jadi perlakuan tersebut sebetulnya adalah dalam rangka melestarikan lingkungan. Monyetnya bisa hidup sementara tanaman yang ada disekitanya tidak diganggu oleh monyet. Tetapi kepada anak-anak saya meyakinkan bahwa  sesuatu yang tidak mungkin kalau manusia meninggal kemudian jadi monyet. Kita bawa anak-anak untuk melihat monyet-monyet tersebut. Kita yakinkan kepada anak-anak bahwa secara biologis itu tidak mungkin. Dan itu adalah pendidikan keagamaan. Karena orang yang terlalu mengikuti tahayul tersebut akan sulit untuk berkembang. Kita harus ganti dengan faham katauhidan, sehingga anak-anak akan lebih percaya lagi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelan-pelan kita berikan pengertian kepada anak-anak dan orang tuanya. Jadi lewat metode pendidikan itu meyakinkan orang tidak dengan omongan, tetapi dengan perbuatan. Nah itulah dalam bahasa yang lebih resminya disebut learning by doing. Jadi kalau saya merenung sekarang, bahwa saya pada zaman itu  sudah melakukan sesuatu inovasi pendidikan yang saya sendiri tidak menyadarinya. Tetapi saya lakukan dengan segala penuh kesenangan, sehingga dengan anak-anak pun  saya menjadi akrab. Di sini saya tidak semata-mata guru yang transfer of knowlage, tetapi juga transfer of doing atau perbuatan. Jadi di situ terjadi pendidikan yang lebih utuh.         

6.  Meninjau Pabrik Kerupuk
Peninjauan ke pabrik kerupuk ini saya alamai baik ketika saya mengajar di Bandorasa Wetan maupun setelah di Citangtu. Mengapa saya tertarik untuk meninjau pabrik kerupuk, karena saya benar-benar belum tahu bagaimana proses kerupuk itu dibuat. Saya ingin tahu kenapa bentuk kerupuk itu melingkar-lingkar seperti sanggul. Sebagai seorang guru keingintahuan itu ada, tetapi kalau bertanya sendiri rasanya malu, maka muncullah ide untuk membawa anak-anak pergi meninjau pabrik kerupuk. Maka dengan mengambil hari krida anak-anak itu dibariskan untuk bersiap-siap mengunjungi pabrik kerupuk yang sebelumnya pihak pabrik kerupuk sudah dihubungi terlebih dahulu. Pokoknya saya katakan bahwa saya akan membawa murid-murid saya untuk melihat pabrik kerupuk di sini, dan kepada anak-anak pun disampaikan bahwa kita akan meninjau pabrik kerupuk untuk mengetahui bagaimana caranya kerupuk itu dibuat. Saya katakan anak-anak kalau mau bawa uang bawalah kalau-kalau nanti kalian mau beli kerupuknya untuk oleh-oleh.
            Pergilah kami bersama anak-anak ke pabrik kerupuk. Waktu di Bandorasa Wetan kami mengunjungi pabrik kerupuknya yang di Cilimus, sementara ketika di Citangtu kami mengunjungi pabrik kerupuk yang di jalan menuju Cibinuang, Kuningan. Anak-anak saya bariskan. Karena sejak semula anak-anak ditugaskan untuk mencatat maka semua anak sibuk mencatat bagaimana proses dan tahapan-tahapan pembuatan kerupuk yang dijelaskan oleh pemilik pabrik kerupuk.
Sebenarnya dibalik itu semua sayalah yang sesungguhnya ingin tahu poroses kerupuk itu dibuat. Jadi rancangan awalnya bukan untuk anak-anak supaya anak-anak tahu. Tetapi anak-anak rupanya merasa senang dengan kunjungan ini. Kalau sekarang mungkin dapat disepadankan kalau saya membawa anak-anak dan cucu-cucu ke Ancol. Dengan dalih menggembirakan anak-anak dan cucu-cucu padahal sesungguhnya sayalah yang ingin ke Ancol karena saya belum pernah ke Ancol.
Ketika saya membawa anak-anak ke pabrik kerupuk, saya perhatikan secara serius tentang semua proses pembuatan kerupuk tersebut. Dari sejumlah tahapan itu maka sampailah pada sesuatu yang saya betul-betul ingin tahu kenapa kerupuk itu melingkar-lingkar seperi sanggul. Saya baru tahu kalau adonan kerupuk itu disimpan disuatu tempat yang lebih tinggi, kemudian di press dan keluarlah adonan itu secara perlahan. Ketika adonan itu turun lalu ditampung dengan menggunakan alat khusus sambil diputar-putar sehingga bentuknya seperti sanggul kecil. Kalau adonannya diputar lebih jauh lagi maka bentuk kerupuknya akan lebih lebar lagi. Kemudian setelah proses itu selesai, maka kerupuk basah itu dijemur. Sesudah kering lalu kerupuk itu digoreng dengan menggunakan wajan yang besar. Kerupuk yang semula kecil-kecil tetapi setelah digoreng menjadi mekar sebesar piring.
Oleh pemilik pabrik kerupuk,  anak-anak dipersilahkan untuk makan kerupuk. Sementara saya selain disuguhi di tempat oleh pemilik pabrik tersebut dibekali kerupuk yang masih mentah untuk dibawa ke rumah. Saya pikir ternyata kesejahteraan guru itu juga diperoleh dari kunjungan ke pabrik kerupuk. Tak ketinggalan anak-anak pun banyak yang membeli kerupuk. Anak-anak senang karena pulangnya bisa membawa kerupuk yang masih segar. Keesokan harinya saya bertemu dengan beberapa orang tua murid, mereka mengatakan, “Pak guru terimakasih kerupuknya.” Saya menangkap pesan bahwa orang tua murid sangat itu sangat mendukung program kunjungan ke pabrik kerupuk ini.
Saya berpikir, yang niatnya hanya sekedar ingin tahu bagaimana proses kerupuk itu dibuat, tetapi ternyata anak-anak juga merasa senang dan aktif bertanya. Anak-anak saya suruh bikin laporan bagaimana cara kerupuk itu diproduksi. Belakangan saya semakin mengerti bahwa model inilah yang dimaksud dengan CBSA. Melalui kunjungan ke pabrik kerupuk ini kita semakin memahami bahwa kita perlu belajar dari lingkungan sekitar, kita juga bisa belajar nilai-nilai ekonomisnya.  Saya bangga dan puas bisa tahu bagaimana cara memproduksi kerupuk. Namun sayangnya kita memang tidak bisa langsung mempraktikkannya karena memang peralatannya sukar dibawa-bawa. Sejak itulah mungkin anak-anak bisa mengapresiasi bahwa makanan yang mereka nikmati itu dibuat melalui proses yang sangat panjang, sehingga mereka juga dapat menghormati nilai pekerjaan. Jadi tukang kerupuk itu sebenarnya adalah pekerjaan yang mulia. Sebab dalam bimbingan karier itu ada satu topik yang namanya “anak-anak belajar dari siapa-siapa yang menghasilkan sesuatu yang kita makan.” Misalnya petani yang bertanam padi, yang mupuk padi, tetapi kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari perannya dilupakan, sehingga ketika makan mereka langsung santap saja. Mereka lupa bahwa padi itu ditanam oleh petani yang berlumpur-lumpur. Kita terkadang lupa bahwa kerupuk yang kita nikmati itu diproses begitu lama. Jadi akhirnya saya menanamkan kepada anak-anak bagaimana menghargai orang yang telah bekerja yang hasil kerjanya kita nikmati. Nah itu saya kira memiliki nilai pendidikan yang sangat tinggi. Itulah yang dikatakan learning by doing. Jadi bagi saya secara profesional juga mendorong profesi saya sebagai guru.

7. Tanam Cabe
Masih dalam kegiatan hari krida, saya pernah diajar oleh guru-guru saya waktu saya sekolah di SGB dan KGA, bahwa pendidikan itu harus terkait dan terpadu dengan lingkungan, kalau istilah Pak Wardiman adalah link and match. Kebetulan masyarakat di tempat saya mengajar (Citangtu) mayoritas petani, salah satunya adalah petani cabe. Saya mulai berpikir bagaimana kalau halaman kosong itu dimanfaatkan dengan tanaman cabe. Tetapi saya bertekad bahwa tanaman cabe buatan anak-anak itu harus lebih baik dari yang dibuat oleh masyarakat. Ide ini terdorong oleh pengalaman sebelumnya. Kita ketahui bahwa masyarakat di kampung Citangtu ini terbiasa dengan “menganyam,” karenanya saya juga menugaskan anak-anak di sekolah untuk menganyam. Tetapi tak lama kemudian ada orang tua yang protes dan menyampaikan keberatannya kepada saya: “Pak guru kalau pelajarannya hanya nganyam, buat apa anak saya disekolahkan, di rumah juga kan nganyam.” Saya pikir benar juga. Tetapi saya ingat pesan guru saya, bahwa pendidikan itu harus sesuai dengan lingkungan. Kesalahan saya adalah memindahkan pekerjaan anak di rumah ke sekolah, itulah yang salah. Seharusnya apa yang dilakukan di sekolah lebih baik dan lebih bermakna dengan apa yang dilakukan di rumah. Dari situlah ide untuk menanam cabe. Kebetulan saya punya teman, Pak Said namanya. Ia bekerja di Dinas Pertanian, lalu saya tanya kepada beliau bagaimana cara memilih bibit cabe hijau yang bagus itu, tolong jelaskan kepada anak-anak di sekolah sebab saya bukan petani. Dan jelaskan pula bagaimana cara menanam cabe yang baik; kedalaman tanahnya bagaimana, pupuknya bagaimana, dll. Atas undangan saya akhirnya Pak Said datang ke sekolah. Beliau menjelaskan tata cara menanam cabe yang baik. Saya dan anak-anak mendengarkan dengan baik karena apa yang disampaikan Pak Said itu akan dipraktikkan di sekolah. Mungkin karena memakai pupuk yang bagus dan prosedur penanamannya benar, maka tanaman cabe yang ada di halaman belakang sekolah tersebut dapat tumbuh subur dan berbuah dengan baik. Tentu saja setiap ada masyarakat yang lewat di depan tanaman cabe sekolah itu mereka akan mengatakan bahwa tanaman cabe yang ada di sekolah itu memang bagus. Respon mereka sangat positif, sehingga mereka pun tak sungkan-sungkan untuk menanyakan kepada anaknya tentang konsep pak guru dalam menanam cabe. Para siswa pun akhirnya menjelaskan kepada orang tuanya cara bercocok tanam cabe.   
Dengan telaten saya bersama-sama anak-anak dapat memelihara tanaman cabe itu sampai pada saatnya dipanen. Ketika dipanen semua siswa dapat membawa cabe ke rumahnya masing-masing, dan selebihnya kita jual untuk menambah kas sekolah. Ini merupakan sebuah proses pembelajaran yang sangat berharga. Karena melalui pendidikan seperti ini kita dapat memahami bagaimana kita harus mencintai tanaman yang menghasilkan nilai ekonomis. Meski pada mulanya hanya ingin memanfaatkan halaman kosong, dan transfer ilmu dari guru-guru saya bahwa apa yang kita ajarkan itu harus sesuai dengan lingkungan. Di sini kebetulan lingkungannya petani cabe, maka saya mengikuti bertanam cabe. Namun sebagaimana tekad awal, cabenya harus lebih baik dari cabe yang ditanam oleh masyarakat. Jadi pendidikan ini hakikatnya adalah pendidikan yang terpadu dengan lingkungan masyarakat.
Dalam kaitan ini saya jadi teringat ketika saya dikemudian hari  berkunjung ke sebuah sekolah di Thailand dalam sebuah program yang bernama sekolah yang bersahabat dengan anak. Lokasi sekolah itu terletak disebuah kampung, tetapi di sekolah itu punya ternak ayam dan kolam. Produksi telurnya saya perhatikan sangat hebat, sehingga tiap akhir minggu telur-telur  itu di kumpulkan dan dikirim ke super market. Tentu selain dijual, telur-telur tersbut juga dikonsumsi oleh anak-anak yang sekolah di sana, bahkan juga anak-anak tersebut pada setiap minggunya bisa membawa satu butir telur untuk dimakan bersama anggota keluarganya masing-masing. Saya lihat karena anak tiap hari makan telur, maka anak-anak sekolah di sana terlihat sehat. Begitu juga dengan keluarganya yang lain (bapak, ibu, adik) karena setiap minggu makan telur, maka ada perbaikan gizi. Nah saya pikir saya juga pernah melakukannya, tetapi dalam bentuk tanaman cabe, kerupuk dan kecap.

8. Metode Dalton
Metode Dalton itu saya pelajari ketika saya di SGB dan diperdalam lagi ketika saya masuk di KGA. Metode Dalton itu adalah metode mengajar yang melibatkan anak untuk memperoleh pengalaman belajar secara langsung. Waktu itu saya akan mencoba untuk mengukur volume air. Kepada anak-anak saya jelaskan terlebih dahulu bahwa di depan anak-anak ada gelas yang berisi air 200 cc. Saya tugaskan kepada anak-anak coba hitung  kalau anak-anak butuh air satu liter maka berapa gelas air yang harus disediakan oleh anak-anak. Anak-anak itu kemudian langsung mempraktikkannya. Itu dilakukan ketika pelajaran tentang volume. Lalu ketika tentang panjang dan lebar, anak-anak saya perintahkan untuk melihat tehel. Saya tugaskan kepada anak-anak coba ukur tehel ini berapa panjang dan lebarnya. Anak-anak pun langsung mempraktikkannya. Artinya melalui metode Dalton ini anak-anak langsung terlibat  mempraktikkannya sendiri. Mereka belajar dari pengalamannya sendiri.
Tapi ada satu peristiwa yang sangat mengejutkan saya, yakni ketika anak-anak oleh saya diharuskan untuk belajar dengan praktik lingkungan. Saya sampaikan kepada anak-anak bahwa besok topik pelajarannya adalah tentang kelapa. Oleh karena itu besok kalian datang ke sekolah  harus membawa apapun yang berhubungan dengan kelapa. Seiring dengan itu pada waktu pagi-pagi di sekolah sudah ada berbagai benda yang berhubungan dengan kelapa. Ada yang membawa daunnya, kelapanya, batangnya, akarnya, ketupat, dan minyak kelapa. Nah ketika saya mau masuk ke dalam kelas ternyata ada beberapa anak perempuan yang menjerit-jerit minta tolong, mereka berlarian sepertinya ketakutan yang amat dalam. Saya pikir, ada apa gerangan yang terjadi? Setelah saya masuk kelas ternyata ada salah seorang anak yang membawa tupai (bajing). Tupainya lepas, sehingga anak-anak perempuan itu ketakutan. Waduh saya pikir gagal juga saya mengajar. Anak-anak betul, mereka membawa apa saja yang berkaitan dengan kelapa, termasuk tupai masih ada hubungannya dengan kelapa karena tupai adalah hewan yang memakan kelapa. Saya lalu intropeksi diri karena sedikit ada kesalahan teknis.
Sebenarnya untuk tema lingkungan yang berhubungan dengan kelapa sangat mudah dilakukan. Ajak saja anak-anak itu jalan-jalan ke kebun kelapa, mungkin tidak akan terjadi keributan. Itulah salah saya, karena ternyata tidak selamanya bahan-bahan dari luar kelas itu bisa efektif menjadi sumber belajar ketika dibawa ke dalam kelas. Buktinya tupai tadi. Yang membawa tupai jelas tidak salah, karena tupai adalah hewan yang masih ada hubungannya dengan kelapa.
Memang banyak hikmah yang bisa diambil dari mempraktikkan metode Dalton ini. Sebenarnya apa yang saya lakukan dengan membawa anak-anak ke pabrik kerupuk itu adalah merupakan metode Dalton. Artinya anak-anak itu secara langsung dapat mempraktikkan pelajarannya. Cuma sayang  kadang-kadang memang saya kurang perhitungan, seperti misalnya ketika menghitung volume air. Airnya tumpah kelantai sehingga ruangan kelas menjadi becek. Apalagi kelasnya belum sebagus sekarang. Jadi benar-benar beceklah.

9. Gara-gara Anak-anak Bongkar Makam
            Suatu ketika  kepada anak-anak saya mengatakan bahwa kita harus mencintai lingkungan dan keindahan. Oleh karenanya saya bersama anak-anak merencanakan akan membuat hiasan taman yang berada di depan kelas. Untuk merealisasikan gagasan tersebut diperlukan bibit tanaman dan bahan-bahan lainnya seperti batu dan bata. Saya katakan,  anak-anak besok harus membawa bata masing-masing sebanyak dua buah. Hitungan saya bahwa di Bandorasa Wetan mencari bata tidaklah terlalu sulit karena hampir disetiap rumah memilikinya. Benar pada waktunya para siswa membawa bata untuk keperluan menghias taman. Namun sedang asyik-asyiknya saya dan anak-anak bekerja membuat taman hias tiba-tiba ada orang tua datang marah-marah, ia mengamuk sambil mengacung-acungkan golok. Dia mencari saya, “Mana guru Surya,” kata orang tua itu sambil terus mengacung-acungkan goloknya. Tentu saya kaget karena saya sendiri tidak tahu apa persoalannya. Tidak lama kemudian Kepala Sekolah turun tangan. Kenapa? Ternyata di antara anak-anak itu ada yang membawa bata  dari hasil membongkar makam. Mungkin ketika anak-anak lewat kuburan mereka melihat ada gundukan bata, sehingga mereka pun langsung membongkarnya. Sementara orang tua yang punya makam itu tidak menerima makamnya dibongkar batanya. Wajar kalau orang tua itu marah-marah. Lalu dia mencari sumber pangkalnya kenapa anak-anak bisa-bisanya membongkar makam. Mungkin ada anak-anak yang menyampaikan kepada orang tua itu, bahwa yang menyuruh membawa bata itu adalah Pak Surya. Sehingga orang tua itu pun mencari saya ke sekolah.   
Atas kejadian itu akhirnya saya dinasihati oleh Kepala Sekolah, dan diminta untuk berdamai dengan satu syarat bersedia untuk memperbaiki makam yang dibongkar oleh anak-anak. Tentu ini pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Saya kira di sinilah perlunya kehati-hatian. Bahwa  memberikan instruksi kepada anak-anak itu harus jelas. Bawa bata, tetapi jangan hasil dari mencuri. Kita tahu bahwa para siswa itu begitu taatnya kepada guru, sehingga apa pun yang diperintahkan oleh gurunya itu biasanya selalu dilaksanakan. Tetapi saya juga harus mengakui bahwa saya juga salah karena pembuatan hiasan taman itu tidak berkoordinasi dengan Kepala Sekolah dan masyarakat. Inilah kesalahan saya. Tetapi keuntungannya adalah kita dapat memperbaiki makam itu lebih baik lagi dari kondisinya sebelum makam itu dibongkar oleh anak-anak. Bersama anak-anak saya tulus ikhlas memperbaiki makam tersebut.
Hikmah terpenting dari kejadian ini adalah bahwa memberikan instruksi itu tidak asal menurut keinginan kita saja. Kita harus koordinasi dulu. Tetapi alhamdulillah cita-cita pembuatan taman hias di depan kelas itu dapat terlaksana dengan baik, dan makam pun diperbaiki. Dari peristiwa ini saya  harus belajar meminta maaf kepada orang tua  karena kesalahan murni ada pada diri saya.

Tidak ada komentar: